Dealing With Ourself : How to Sway Insecurities Into Confidence
Have
you ever feeling bad for doing something? Have you ever feeling that’s you are
never enough? Have you ever feeling frustated? Failed to reach you desire? Have
you felt like you are the only one who left behind? Or feeling hard to build
connection?
Pernahkan Anda merasa demikian? Sekali?
Dua kali? Atau setiap hari? Perasaan itu pasti ada, merasa diri kita jauh tidak
lebih baik dari orang lain, merasa tertinggal, merasa gagal, bahkan merasa
bahwa diri kita tidak ada gunanya.
Yaps, itu adalah perasaan yang biasa
kita sebut insecure atau perasaan rendah diri, perasaan tidak
aman, tidak tenang, gelisah, dan merasa bahwa diri kita tidak dalam posisi yang
membuat kita tenang.
“Bella adalah siswi di sebuah SMA di
Jakarta. Suatu hari sekolahnya mengadakan perayaan kelulusan dengan menggelar prom night. Namun ternyata Bella
mengalami bullying saat menghadiri prom, tidak sedikit teman-temannya
mengatakan bahwa Bella sangat jelek hari itu, Bella dianggap tidak memiliki
gaun yang indah untuk pergi ke prom. Bella
disebut sebagai perusak suasana karena gaun yang ia kenakan tidak sesuai dengan
warna kulitnya. Bella benar-benar tidak menyangka bahwa temannya akan
mengatakan hal itu. Kata-kata itu sangat menyakitkan. Bella tidak hanya diam,
ia berkata bahwa gaunnya dibelikan oleh ibunya, dan ia percaya bahwa pilihan
ibunya adalah yang terbaik bagi Bella. Mendengar hal itu, teman-temannya
menertawakan Bella. Respon teman-teman Bella membuatnya muak, sehingga ia
memutuskan pulang lebih awal dibanding teman-temannya. Semenjak kejadian itu,
Bella tidak pernah mau pergi ke acara pesta, sebab Bella takut bahwa apa yang
dibilang teman-temannya benar, Bella percaya bahwa dirinya tidak cantik dan
hanya akan merusak suasana pesta. Ia berfikir ini disebabkan karena ia tidak
memiliki kulit yang bersih dan cerah seperti teman-temannya, seandainya Bella
memiliki kulit yang cerah seperti teman-temannya, mungkin saja teman-temannya
tidak akan mengejeknya. Bella berfikir bahwa itulah caranya agar ia memiliki
teman. Ketika mengingat kejadian itu, Bella sangat kesal mengapa kulitnya tidak
cerah seperti teman-temannya, ia malu dan semakin sering mengurung diri sendiri.
Namun, beberapa tahun kemudian, Bella semakin tumbuh, ia mulai mencoba
melakukan perawatan kulit, melakukan olahraga dan menjaga pola makan. Bella
sesekali waktu mencoba menghadiri beberapa acara pesta, namun ia tampak tidak
begitu nyaman. Perlahan-lahan Bella menyadari sesuatu, kulitnya adalah
pemberian Tuhan, meskipun tidak secerah teman-temannya, Bella sangat bersyukur
atas apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Kini Bella sudah memiliki kepercayaan
diri penuh dan tidak takut lagi untuk hadir pada setiap pesta yang ada”.
Just
learn from that cases, Bella as a teenager who looking for identity, who need
support to find it. But see? Her environment was really disgusting. Bella got
bullying at senior high school and she didn’t got help at those tragedy. Those
bullying make Bella got traumatized. Bella won’t go on another party again. She
felt guilty why she was born not beautiful like her friends standar, she hate
herself because her friends, and she lost her confidence.
Contoh kasus Bella diatas adalah bukti
bahwa Bella mengalami trauma, rasa trauma Bella berdampak hingga ia dewasa
dengan enggannya ia pergi ke tempat pesta lagi. Bella merasa bahwa apa yang
dibicarakan teman-temannya benar. Meskipun begitu, sebenarnya saat ini Bella berhasil
menyembuhkan luka yang ada dalam batinnya akibar verbal bullying. Meskipun berat dan membutuhkan waktu yang tidak
singkat, Bella berhasil melawan ketakutannya dan berdamai dengan keadaan yang
ada. Mari kita analisis perilaku tahapan kesedihan Bella sesuai teori “The Five Stages of Grief” yang pertama
kali diperkenalkan oleh Dr. Elisabeth Kübler-Ross pada bukunya tahun 1969, On Death and Dying. Kubler Ross
merupakan seorang psikiater asal Swiss. Dalam teorinya, tahapan kesedihan
memiliki lima tahap, penjelasannya :
Denial
(Penolakan)
Ketika seseorang berduka, ia akan
menolak bahwa itu terjadi padanya. Dalam kasus Bella, momen ini sesuai dengan kalimat
“Bella tidak hanya diam, ia berkata
bahwa gaunnya dibelikan oleh ibunya, dan ia percaya bahwa pilihan ibunya adalah
yang terbaik bagi Bella”. Bella masih mengelak mengenai ucapan
teman-temannya. Ia tidak bisa terima begitu saja dan mencoba bertahan dengan
menguatkan keyakinan bahwa baju yang dikenakannya adalah yang terbaik bagi
Bella.
Anger
(Marah)
Rasa penolakan atau penyangkalan yang
terus menerus akan berubah menjadi perasaan tidak terima. Sehingga seseorang
akan berada pada emosi marah setelah penyangkalan yang dilakukan tidak berhasil
membuatnya nyaman. Dalam kasus Bella, ia memilih pulang ke rumah lebih awal dan
meninggalkan prom night.
Bergaining
(Penawaran)
Pada tahap ini, hal yang dilakukan Bella
yaitu dengan mengandai-ngandai jika saja hal “A” ada ada dirinya, mungkin
perundungan oleh teman-temannya tidak akan terjadi. Sikap ini menunjukkan bahwa
Bella sedang mencoba memberikan tawaran-tawaran tertentu bagi dirinya sendiri,
terbukti pada kalimat “Seandainya Bella
memiliki kulit yang cerah seperti teman-temannya, mungkin saja teman-temannya
tidak akan mengejeknya”.
Pada tahap ini sebenarnya bagus sebagai
bahan evaluasi, namun tidak sedikit orang malah akan membuatnya semakin insercure dengan keadaan yang ada. Padahal,
boleh jadi itu bukan kesalahan dia, sehingga tahap bergaining ini perlu disikapi dengan hati-hati.
Depression(Depresi)
Fase depresi adalah fase yang paling
menyakitkan, ia merasa tidak berguna, tidak terima akan apa yang telah dialami,
merasa benar-benar jatuh dalam fase kesedihan ini. Bahkan beberapa orang akan
menarik diri, seperti yang Bella lakukan.
“Ketika
mengingat kejadian itu, Bella sangat kesal mengapa kulitnya tidak cerah seperti
teman-temannya, ia malu dan semakin sering mengurung diri sendiri”, kalimat tersebut membuktikan betapa
terpuruknya Bella saat berada pada fase depresi.
Acceptance(Penerimaan)
Pada fase ini, seseorang akan mulai bisa
berdamai dengan kondisi yang ada dan mulai pada tahap memaafkan dan
berdampingan dengan luka yang membuatnya bersedih. Dalam cerita Bella, fase ini
dibuktikan pada kalimat “Bella sangat
bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan kepadanya. Kini Bella sudah memiliki
kepercayaan diri penuh dan tidak takut lagi untuk hadir pada setiap pesta yang
ada”, Bella sudah bisa menerima masa lalu yang mungkin amat sangat kelam
bagi dirinya.
Rasa percaya diri yang semakin besar
tumbuh pada dirinya, siapa yang menyembuhkan jika bukan dirinya sendiri? Meskipun
ada faktor eksternal lain yang membantu, namun yang paling berperan yaitu
Tuhan. Tuhan berikan waktu dan kekuatan bagi diri kita sendiri agar kita bisa
mengubah kesedihan kita menjadi semangat.
So,
how to turn our insecurities become confidence? Yep, God
and time will heal it, we called it self healing. Self healing memiliki
banyak manfaat, salah satunya yaitu untuk menyembuhkan luka lama atau
menyembuhkan rasa trauma. Luka batin yang belum sembuh akan selalu menjadi
ruang yang kosong dalam jiwa kita, ia akan dengan mudah membuat kita terusik.
Namun, percayakah Anda bahwa “time will
heal our pain if we could be dealing with ourself”, kalimat tersebut adalah
benar adanya untuk menyembuhkan rasa trauma maupun luka batin kita.
Semoga Tuhan selalu merahmati kita
semua, sehingga kepala kita tidak terlalu berisik, setidaknya memulai dengan
berkhusnudzon, agar aura yang melekat pada diri kita senantiasa positive. Aamiin~
Belum ada Komentar untuk "Dealing With Ourself : How to Sway Insecurities Into Confidence "
Posting Komentar